Sabtu, 21 November 2015

Pengalaman Bersekolah di International Boarding School Untuk Menjadi Unggul


Ketika aku masih kanak-kanak, ibuku hanya memiliki satu ketakutan — yaitu aku tumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja. 

Keluarga kami, seperti yang semua orang pahami, telah terbiasa untuk kembali pada empat generasi. Sungguh menyenangkan, tapi ketika semua menjadi normal kamu akan mati.

Dan ibuku tidak akan membiarkanku berakhir seperti itu juga.

Sebab itu, sejak aku dilahirkan, ibu dan ayahku menabung uang mereka, dan ketika aku berumur 12 tahun, mereka mengirimku ke International Boarding School for the Fostering of Excellence di Swiss. 

The International Boarding School sangat mengedepankan prestasi dan keunikan siswa, dan sejumlah lulusannya telah terkenal di dunia sesuai dengan keahlian dibidangnya masing-masing. Perihal bidang yang ingin ditekuni tidak jadi masalah, sejauh siswa mampu menguasainya. Di kelasku misalnya, Caroline sedang belajar bagaimana menjadi yang paling cantik, dan Raul telah menjadi siswa yang paling menjengkelkan dan terus menerus bertengkar dengan Yu-Lin, seorang siswa yang paling menderita. 

Guru memintaku untuk duduk di bangku yang disampingnya terdapat siswa yang tak seorang pun mengenal namanya, tapi satu hal yang dengan cepat dapat diperhatikan dari dirinya adalah cukup melihatnya bahwa ia anak yang paling memiliki keinginan. Tak seorang pun tahu apa yang ia inginkan, sebab ia tak pernah bercerita. Tapi matanya selalu terbuka dengan lebar, mencoba melihat dan lidahnya selalu digerakkan di dalam mulutnya, seolah mencoba rasa yang sebenarnya tidak ada, dan bola golf ditenggorokannya naik turun setiap beberapa detik seperti ketika kau menelan sesuatu.

Jika saja aku memahami apa yang dia inginkan, aku bersedia membunuh untuknya dan agar ia mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi, aku maupun guru tidak ada yang mampu. Guru bahkan tidak mencoba mencari tahu—itu cukup untuk membuktikan ia unggul pada apa yang diinginkannya. 

Pada akhirnya, selama setahun aku menghabiskan waktu memikirkan anak tanpa nama itu. Selama setahun itu pula Caroline menjalani transplantasi tulang pipi dan Yu-Lin telah mencoba bunuh diri sebanyak dua kali. 

Kami dinobatkan sebagai kelas paling sukses, kecuali aku dan mungkin Raul, yang kadang kala kecewa dengan ketidakmampuan mengendalikan sebuah kebaikan. Saat merasa putus asa saat untuk menunjukkan komitmen, Raul membunuh guru biologi. Namun, sesuai saran penasihat dewan pedagogi yang menjelaskan kepada orang tuanya, bahwa semua sedikit terlambat, dan kami berdua dikeluarkan.  

Penerbangan Charter untuk kembali ke rumah tidak menyenangkan. Aku paham bahwa keluargaku masih mencintaiku, tapi aku takut jika mereka kecewa karena menemukan apa yang kupahami —bahwa aku sama saja dengan orang lain. 

Tak ada yang memulai pembicaraan saat kami diperjalanan pulang dari bandara, dan ketika kami tiba, semua terasa gelap. Ibu menatap kantong sayuran yang beku di lemari es dan bertanya dengan suara tercekat apakah aku menginginkan sesuatu. Aku menutup mata dan tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin sesuatu. Tanpa sebuah nama, tapi dengan aroma dan sebuah rasa. Aku tidak ingin semua itu, tak setengah dari apa yang dimiliki anak yang duduk disebelahku di sekolah, tapi bagiku itu sudah cukup, entah mengapa. 



*Sebelumnya, cerpen ini diterjemahkan dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris oleh Sondra Silverston. Dan selanjutnya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan ke bahasa Indonesia.