Sabtu, 21 November 2015

Pengalaman Bersekolah di International Boarding School Untuk Menjadi Unggul


Ketika aku masih kanak-kanak, ibuku hanya memiliki satu ketakutan — yaitu aku tumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja. 

Keluarga kami, seperti yang semua orang pahami, telah terbiasa untuk kembali pada empat generasi. Sungguh menyenangkan, tapi ketika semua menjadi normal kamu akan mati.

Dan ibuku tidak akan membiarkanku berakhir seperti itu juga.

Sebab itu, sejak aku dilahirkan, ibu dan ayahku menabung uang mereka, dan ketika aku berumur 12 tahun, mereka mengirimku ke International Boarding School for the Fostering of Excellence di Swiss. 

The International Boarding School sangat mengedepankan prestasi dan keunikan siswa, dan sejumlah lulusannya telah terkenal di dunia sesuai dengan keahlian dibidangnya masing-masing. Perihal bidang yang ingin ditekuni tidak jadi masalah, sejauh siswa mampu menguasainya. Di kelasku misalnya, Caroline sedang belajar bagaimana menjadi yang paling cantik, dan Raul telah menjadi siswa yang paling menjengkelkan dan terus menerus bertengkar dengan Yu-Lin, seorang siswa yang paling menderita. 

Guru memintaku untuk duduk di bangku yang disampingnya terdapat siswa yang tak seorang pun mengenal namanya, tapi satu hal yang dengan cepat dapat diperhatikan dari dirinya adalah cukup melihatnya bahwa ia anak yang paling memiliki keinginan. Tak seorang pun tahu apa yang ia inginkan, sebab ia tak pernah bercerita. Tapi matanya selalu terbuka dengan lebar, mencoba melihat dan lidahnya selalu digerakkan di dalam mulutnya, seolah mencoba rasa yang sebenarnya tidak ada, dan bola golf ditenggorokannya naik turun setiap beberapa detik seperti ketika kau menelan sesuatu.

Jika saja aku memahami apa yang dia inginkan, aku bersedia membunuh untuknya dan agar ia mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi, aku maupun guru tidak ada yang mampu. Guru bahkan tidak mencoba mencari tahu—itu cukup untuk membuktikan ia unggul pada apa yang diinginkannya. 

Pada akhirnya, selama setahun aku menghabiskan waktu memikirkan anak tanpa nama itu. Selama setahun itu pula Caroline menjalani transplantasi tulang pipi dan Yu-Lin telah mencoba bunuh diri sebanyak dua kali. 

Kami dinobatkan sebagai kelas paling sukses, kecuali aku dan mungkin Raul, yang kadang kala kecewa dengan ketidakmampuan mengendalikan sebuah kebaikan. Saat merasa putus asa saat untuk menunjukkan komitmen, Raul membunuh guru biologi. Namun, sesuai saran penasihat dewan pedagogi yang menjelaskan kepada orang tuanya, bahwa semua sedikit terlambat, dan kami berdua dikeluarkan.  

Penerbangan Charter untuk kembali ke rumah tidak menyenangkan. Aku paham bahwa keluargaku masih mencintaiku, tapi aku takut jika mereka kecewa karena menemukan apa yang kupahami —bahwa aku sama saja dengan orang lain. 

Tak ada yang memulai pembicaraan saat kami diperjalanan pulang dari bandara, dan ketika kami tiba, semua terasa gelap. Ibu menatap kantong sayuran yang beku di lemari es dan bertanya dengan suara tercekat apakah aku menginginkan sesuatu. Aku menutup mata dan tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin sesuatu. Tanpa sebuah nama, tapi dengan aroma dan sebuah rasa. Aku tidak ingin semua itu, tak setengah dari apa yang dimiliki anak yang duduk disebelahku di sekolah, tapi bagiku itu sudah cukup, entah mengapa. 



*Sebelumnya, cerpen ini diterjemahkan dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris oleh Sondra Silverston. Dan selanjutnya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan ke bahasa Indonesia. 

Sabtu, 24 Oktober 2015

Tiga Puisi Lang Leav

Sebuah jawaban

Untuk memilih dari
              sekian banyak;
              diantara mereka,
              tentu ada beberapa.

Dan dari mereka aku mencintaimu,
             lebih dari apapun -
             tapi tidak sebanyak
             satu.




Hati Yang Berat

Semua yang telah kau lakukan,
           aku berharap mampu mengampuninya.


Ketika cinta telah berhadapan dengan kematiannya
           begitu lambat untukku-
           namun untukmu amatlah mendadak.

Kini tahun-tahun berlalu,
dan hatiku
telah mengeras.


Kecemburuan

adalah sebuah jalan
        ketika kau berbicara tentangnya


dengan dendam, penyesalah, penghinaan
       dan di balik semua itu
       hanya ada sedikit kebanggan. 



*Tiga puisi dari buku "Love & Misadventure" di atas diterjemahkan bebas oleh Wawan Kurn. 

Minggu, 27 September 2015

Sebuah Puisi dari Walt Whitman

Pada Tengah Malam Yang Suci

Inilah jiwa yang Kau punya, kepergian ini bebas tanpa kata - kata,
Jauh dari buku, jauh dari seni, hari yang terhapus, pelajaran selesai,

Kau sepenuhnya telah tiba, diam, menatap, merenungkan
apa yang Kau selalu kasihi,
Malam, tidur, kematian dan bintang - bintang.


*Puisi ini diterjemahkan bebas oleh Wawan Kurn.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Sebuah puisi dari Robert Louis Stevenson

Katakanlah bukan dari saya ....

Katakanlah bukan dari saya bahwa kelemahan telah kutolak
Sejumlah buruh dalam hasratku, dan lenyap di laut,
Menara yang kami dirikan dan lampu yang kita nyalakan,
Untuk bermain di rumah dengan kertas seperti anak kecil.
namun katakan: Pada sore hari
sebuah keluarga sibuk tengah membersihkan debu di tangan,
pasir granit dan amatilah dari jauh
sepanjang pantai terdengar matahari sedang sekarat,
memberi senyum manis, dan tugas yang kekanak-kanakan
sekitaran api ditujukan kepada jam malamnya.


*Judul asli dari puisi ini adalah "Say not of me...." diterjemahkan oleh Wawan Kurn dari buku Robert Louis Stevenson, Selected Poems, Phoenix Edition. 

Rabu, 26 Agustus 2015

Putri Tidur dan Pesawat Terbang

Ia cantik dan luwes, dengan kulit lembut warna roti dan mata seperti buah badam hijau dan rambut hitam lurus menyentuh bahu, dan ia memiliki paras antik yang se-Indonesia orang Andes. Ia mengenakan pakaian sangat halus: jaket bulu lynx, blus sutra alami dengan bunga-bunga lembut, celana panjang katun, dan sepatu bergaris tipis warna bugenvil. “Ini perempuan tercantik yang pernah kulihat,” pikirku saat melihat gadis itu melintas dengan langkah singa betina yang mengendap-endap. Saat itu aku sedang berada di dalam antrian check-in di Bandara Charles de Gaulle, Paris, untuk tujuan New York. Ia sosok adikodrati yang muncul sekelebat dan menghilang di tengah keriuhan terminal.

Pukul sembilan pagi saat itu. Salju turun sepanjang malam, dan lalu lintas lebih padat dari biasanya di jalan-jalan kota, dan lebih merambat di jalur antarkota, di mana truk-truk trailer berbaris di bahu jalan dan mobil-mobil mengalir di permukaan salju. Namun, di dalam bandara tetaplah musim semi.

Aku berdiri di belakang perempuan Belanda tua yang menghabiskan hampir satu jam untuk berdebat tentang berat sebelas kopernya. Saat mulai bosan itulah aku melihat sosok sekelebat yang membuat nafasku tertahan, dan karenanya aku tidak tahu bagaimana percekcokan berakhir. Kemudian petugas tiket menyadarkan lamunanku dengan suara sengitnya. Sambil meminta maaf, aku menanyakan kepadanya apakah ia mempercayai cinta pada pandangan pertama. “Tentu saja,” kata perempuan itu. “Mustahil ada cinta jenis lainnya.” Ia terus mengarahkan matanya ke layar komputer dan menanyakan apakah aku lebih suka di tempat merokok atau yang bebas asap rokok.

“Yang mana saja,” kataku dengan suara yang kubuat sengit, “asalkan tidak bersebelahan dengan sebelas koper.”

Ia menyampaikan rasa terima kasihnya dengan senyum komersial tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.

“Pilih mana,” katanya, “tiga, empat, atau tujuh.”

“Empat.”

Ia tersenyum penuh kemenangan.

“Selama lima belas tahun saya bekerja di sini,” katanya, “Anda orang pertama yang tidak memilih tujuh.”

Ia menulis nomor kursi di boarding pass-ku dan mengembalikannya bersama dokumen-dokumenku, lalu memandangku untuk kali pertama dengan matanya yang berwarna anggur, sebuah hiburan sampai aku bisa melihat si Cantik lagi. Kemudian ia memberi tahu bahwa bandara baru saja ditutup dan semua penerbangan ditunda.

“Berapa lama?”

“Terserah Tuhan,” katanya sambil tersenyum. “Radio mengabarkan tadi pagi bahwa ini akan merupakan badai salju terbesar tahun ini."

Ia keliru: Ini yang terbesar abad ini. Tapi di ruang tunggu kelas satu, musim semi begitu murni sehingga mawar-mawar tiruan di vas dan bahkan musik kacangan terasa luhur dan menenteramkan sebagaimana yang diinginkan penciptanya. Tiba-tiba terpikir olehku bahwa mestinya inilah tempat yang cocok untuk si Cantik, dan aku mencarinya di ruang tunggu lain, sempoyongan oleh kenekatanku sendiri. Tetapi hanya kujumpai orang-orang biasa, kebanyakan para lelaki yang membaca koran berbahasa Inggris sementara istri-istri mereka memikirkan orang lain sembari memandangi pesawat-pesawat yang mampus di tengah salju, es di mana-mana, dan landasan pacu yang kocar-kacir. Menjelang tengah hari tidak ada tempat duduk tersisa dan udara gerah tak tertahankan. Aku keluar untuk mencari hawa segar.

Di luar kulihat pemandangan yang mengerikan. Segala macam orang memadati ruang tunggu dan mereka berserakan di koridor yang penuh sesak dan bahkan di tangga, berbaring di lantai dengan hewan mereka, anak-anak mereka, dan barang bawaan mereka. Hubungan dengan kota juga terganggu, dan istana plastik ini, yang menyerupai kapsul ruang angkasa sangat besar, teronggok di tengah badai. Aku tidak habis-habisnya memikirkan bahwa si Cantik juga pasti berada di suatu tempat di tengah gerombolan orang-orang yang lesu, dan fantasi tersebut mengilhamiku dengan keberanian baru untuk menunggu.

Ketika tiba makan siang kami menyadari bahwa kami karam. Antrian memanjang tak berkesudahan sampai keluar dari tujuh restoran, kafetaria, bar-bar kecil, dan dalam waktu tak sampai tiga jam semuanya tutup karena makanan dan minuman ludes. Anak-anak, yang untuk sesaat tampak tak ada bedanya dengan semua anak lain di muka bumi, mulai menangis bersamaan, dan bau ternak mulai meruap dari kerumunan orang-orang. Inilah waktu untuk naluri. Di tengah orang-orang yang berebut, satu-satunya yang aku bisa dapatkan adalah dua cangkir terakhir es krim panili di toko anak-anak. Para pelayan menaruh kursi-kursi di atas meja begitu para pelanggan pergi, sementara aku pelan-pelan saja menikmati es krim di dekat konter, memandangi diri sendiri di cermin dengan cangkir karton kecil es krim terakhir dan sendok karton terakhir, dan berpikir tentang si Cantik.

Pesawat ke New York, yang dijadwalkan pukul sebelas siang, baru berangkat pukul delapan malam. Saat aku masuk pesawat, para penumpang kelas satu sudah duduk di tempat masing-masing, dan seorang pramugari menunjukkan kursiku. Di dekat jendela, si Cantik sedang mengatur duduknya dengan kecakapan seorang pelancong yang berpengalaman. “Kalau sampai kutuliskan hal ini, pastilah tak akan ada yang percaya,” pikirku. Dan aku mengucapkan salam terbata-bata yang ia tidak dengar.

Ia mengatur tempat duduknya seolah-olah akan menetap di sana bertahun-tahun, meletakkan segala sesuatu secara rapi dan tertata, sampai-sampai tempat duduknya tampak begitu teratur seperti rumah idaman, yang segala sesuatu berada di tempat semestinya. Sementara itu, seorang pelayan membawakan untuk kami sampanye pembuka. Aku mengambil segelas dan akan menyodorkannya kepada si Cantik, tetapi kupikir waktunya tidak tepat. Karena ia hanya meminta segelas air putih, dan ia berpesan kepada pelayan, mula-mula dalam bahasa Perancis yang tak terpahami dan kemudian dalam bahasa Inggris yang sedikit lebih lancar, agar tidak membangunkannya selama perjalanan dengan alasan apa pun. Suaranya yang serius dan hangat terdengar sangat murung.

Saat pelayan memberinya air, si Cantik meletakkan kotak kosmetika dengan tembaga di sudut-sudutnya, mirip koper nenek-nenek, di atas pangkuan, dan mengambil dua butir pil keemasan dari tempatnya yang juga berisi pil-pil lain berbagai warna. Ia melakukan segala sesuatunya secara tertib dan khidmat, seolah-olah tidak pernah mengalami kejadian tak terduga sejak lahir. Akhirnya ia menurunkan penutup jendela, merendahkan sandaran kursi, menyelimuti dirinya sampai pinggang tanpa melepas sepatu, mengenakan masker tidur, mengubah posisinya jadi memunggungiku, dan kemudian tidur tanpa jeda sama sekali, tanpa menghela nafas, tanpa berubah posisi sedikit pun, selama delapan jam nonstop ditambah dua belas menit waktu penerbangan ke New York.

Ini penerbangan yang menggairahkan. Aku selalu meyakini bahwa tidak ada yang lebih indah di alam ini selain wanita cantik, dan mustahil bagiku untuk berpaling sesaat saja dari sihir makhluk dongeng yang tidur di sebelahku. Pelayan lenyap begitu kami mulai terbang dan digantikan oleh pramugari kaku yang mencoba membangunkan si Cantik untuk menyerahkan kepadanya kotak perlengkapan cuci muka dan earphone untuk mendengarkan musik. Aku mengulangi pesan yang disampakan oleh si Cantik kepada pelayan, tetapi pramugari ini berkeras ingin mendengar sendiri dari mulut si Cantik apakah ia juga tidak menginginkan makan malam. Pramugari harus memastikan pesan tersebut, dan dengan nada meremehkan ia mengatakan kepadaku bahwa si Cantik tidak mengalungkan tanda “Jangan Mengganggu” di lehernya.

Aku makan sendirian, mengatakan dalam hati semua ucapan yang akan kusampaikan kepadanya seandainya ia terjaga. Tidurnya tidak berubah sama sekali sehingga sempat terlintas di benakku rasa cemas jangan-jangan pil yang ditelannya tadi bukan pil untuk tidur melainkan pil untuk mati. Setiap kali meneguk minuman aku mengangkat gelas dan bersulang.

“Untuk kesehatanmu, Cantik.”

Ketika makan malam usai lampu-lampu diredupkan dan film diputar tidak untuk siapa pun dan kami berdua terpisah di dunia gelap. Badai terbesar abad ini sudah berakhir, dan kami menembus malam yang amat besar dan jernih di atas Atlantik, dan pesawat seperti tak bergerak di antara bintang-bintang. Kemudian aku menekurinya, sangat teliti, selama beberapa jam, dan satu-satunya tanda kehidupan yang bisa kukenali adalah baying-bayang mimpi yang melintas di dahinya seperti awan di atas perairan. Di lehernya terlilit kalung sangat halus sehingga nyaris tak tampak di kulitnya yang keemasan, telinganya yang sempurna tidak ditindik, kuku-kukunya memerah segar, dan di tangan kirinya ada cincin polos. Karena ia paling banter baru dua puluh tahun, aku menenteramkan diri dengan pikiran bahwa itu bukan cincin kawin melainkan tanda ikatan sementara saja. “Melihatmu tidur, tenteram, damai, setia menolak, murni, sedekat itu dengan tanganku yang terbelenggu,” pikirku di puncak buih sampanye, menirukan puisi apik Gerardo Diego.Kemudian kuturunkan sandaran kursiku sejajar dengan sandaran kursinya, dan kami berbaring bersama, lebih dekat ketimbang suami istri di ranjang. Suhu nafasnya sehangat suaranya, dan kulitnya menghembuskan nafas sangat halus sehingga hanya tercium aroma kecantikannya. Rasanya luar biasa: Di musim semi lalu aku membaca novel bagus Yasunari Kawabata tentang para borjuis kuno dari Kyoto yang membayar mahal untuk melewatkan waktu semalaman mengamati gadis-gadis paling cantik di kota mereka, telanjang dan terbius, sementara di ranjang yang sama para borjuis itu disiksa oleh cinta. Mereka tidak boleh membangunkan atau menyentuh gadis-gadis itu, bahkan mencoba pun tidak boleh, karena inti dari kesenangan tersebut adalah melihat mereka tidur. Malam itu, saat aku memandangi si Cantik sedang pulas, tidak hanya aku jadi memahami kesenangan orang-orang pikun itu, tetapi benar-benar mengalaminya.

“Siapa sangka,” pikirku, keterpurukanku diperburuk oleh sampanye, “bahwa aku akan menjadi orang Jepang kuno di masa sekarang?”

Kupikir aku tertidur beberapa jam, dihajar oleh sampanye dan ledakan tanpa suara di film, dan kepalaku sedikit pening ketika aku bangun. Aku pergi ke kamar kecil. Dua kursi di belakangku wanita tua dengan sebelas koper berbaring berantakan, seperti mayat di medan perang. Kacamata bacanya, dengan rantai manik-manik berwarna-wani, jatuh di lantai, dan sesaat aku menikmati perasaan dengki untuk tidak mengambilkannya.

Setelah terbebas dari pengaruh sampanye, aku memandangi diriku sendiri, tampak buruk dan hina, di cermin, dan takjub bahwa kehancuran oleh cinta bisa sedemikian mengerikan. Pesawat tiba-tiba terguncang dan kemudian meluruskan jalannya dan terus melaju dengan kecepatan penuh. Tanda “Kembali ke Tempat Duduk Anda” menyala. Aku bergegas keluar dengan harapan bahwa turbulensi yang dikirimkan Tuhan itu bisa membangunkan si Cantik dan ia perlu mencari perlindungan kepadaku untuk mengatasi ketakutannya. Dalam langkah tergesa-gesa, hampir saja aku menginjak kacamata si wanita Belanda dan alangkah gembiranya jika itu terjadi. Namun aku kembali lagi, memungut kacamata itu, dan meletakkannya di pangkuan sang pemilik dengan rasa syukur yang muncul tiba-tiba karena ia tidak mendahuluiku memilih tempat duduk nomer empat.

Tidur si Cantik tak tertaklukkan. Ketika pesawat kembali stabil, aku sangat tergoda untuk mengguncangnya dengan dalih tertentu, karena yang kuinginkan pada satu jam terakhir penerbangan adalah melihatnya bangun, bahkan sekalipun ia akan sangat marah, sehingga aku bisa merasa lega, dan mungkin kembali muda. Tetapi aku tidak sanggup melakukannya. “Sialan,” aku mencemooh diriku sendiri dalam hati. “Kenapa aku tidak terlahir sebagai Taurus!”

Ia terbangun sendiri pada saat lampu pendaratan menyala, dan ia cantik dan segar seolah-olah baru saja tidur di kebun mawar. Saat itulah aku menyadari bahwa, seperti pasangan yang sudah lama menikah, orang-orang yang duduk berdampingan di pesawat bisa tidak saling mengucapkan selamat pagi satu sama lain ketika mereka bangun. Begitu pula si Cantik. Ia melepas maskernya, membuka matanya yang cemerlang, menegakkan sandaran kursi, menyingkirkan selimut, mengibaskan rambutnya, meletakkan kotak kosmetika ke pangkuannya, dan berdandan secara cepat yang sesungguhnya tidak diperlukan, yang menghabiskan cukup waktu untuk tidak melihatku sampai pintu pesawat dibuka. Kemudian ia mengenakan jaket bulunya, nyaris jatuh saat melewatiku dan mengucapkan maaf ala kadarnya dalam bahasa Spanyol Amerika Latin, berlalu tanpa mengucapkan selamat tinggal atau setidaknya terima kasih atas segala yang telah kulakukan untuk membuat perjalanan kami menyenangkan, dan menghilang di terik matahari hutan Amazon New York.

(Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari terjemahan Inggris Edith Grossman "Sleeping Beauty and the Airplane", dalam kumpulan cerpen Strange Pilgrims)

Senin, 06 Juli 2015

Gabriel Garcia Marquez Berjumpa dengan Ernest Hemingway Gabriel Garcia Marquez


Aku segera mengenalinya, lewat bersama Mary Welsh sang isteri di Boulevard St. Michel di Paris pada suatu hari berhujan musim semi tahun 1957. Ia berjalan di sisi lain jalan, ke arah Luxembourg Gardens, mengenakan celana koboi yang sangat usang, kemeja kotak-kotak dan sebuah topi pemain bola. Satu-satunya hal yang membuatnya tak tampak sebagaimana dia adalah kaca mata berbingkai logam, kecil dan bulat, memberi dia semacam roman kakek-kakek yang prematur. Ia berumur 59 tahun, dan tubuhnya besar serta nyaris sangat tampak, tetapi ia tak memberi kesan kekuatan brutal yang tak meragukan itu ia harapkan, karena pinggulnya sempit dan kakinya tampak sedikit mengurus di atas sepasang sepatu kasar penebang pohon. Ia tampak begitu hidup di tengah-tengah kios buku bekas dan di antara pemuda yang membanjir dari Sorbonne sehingga tidaklah mungkin membayangkan ia hanya tinggal empat tahun lagi hidup. 

Selama sepersekian detik, sebagaimana selalu menjadi masalah, kutemukan diriku terbagi antara dua peranku yang saling bersaing. Aku tak tahu apakah memintanya untuk suatu wawancara atau menyeberangi jalan raya untuk mengungkapkan kekagumanku yang sepenuhnya pada dia. Namun dengan pertimbangan lain, aku menghadapi ketidakenakkan yang sama. Pada saat itu, aku bicara bahasa Inggris patah-patah yang berlanjut sampai sekarang, dan aku sangat tidak yakin dengan bahasa Spanyol petarung banteng-nya. Dan maka aku tidak melakukan keduanya yang dapat merusak suasana saat itu, namun tiba-tiba melengkungkan tangan di depan mulutku dan, seperti Tarzan di hutan, berteriak dari seberang ke seberang jalan: "Maaaeeestro!" Ernest Hemingway mengerti bahwa tak akan ada master lain di tengah-tengah gerombolan para pelajar, dan ia menoleh, mengangkat tangannya dan berteriak padaku dalam bahasa Castilian dengan suara yang sangat kekanak-kanakan, "Adiooos, amigo!" Itu satu-satunya saat aku melihat dia. 

Pada saat itu, aku seorang wartawan berumur 28 tahun dengan sebuah novel yang sudah diterbitkan dan sebuah hadiah sastra di Kolombia, tetapi aku terkatung-katung dan tanpa tujuan di Paris. Guru-guruku yang terbesar adalah dua novelis Amerika Utara yang hidup nyaris bersamaan. Aku telah membaca apa pun yang telah mereka terbitkan, tetapi bukan sebagai bacaan yang saling melengkapi - namun lebih sebagai dua yang berlawanan, dua perbedaan dan satu sama lain hampir merupakan bentuk-bentuk ekslusif pemahaman sastra. Satu dari mereka adalah William Faulkner, pada siapa aku tak pernah melihatnya dan yang hanya dapat aku bayangkan sebagai petani yang mengenakan kemeja merentangkan lengannya di samping dua ekor anjing putih kecil dalam potretnya yang terkenal karya Cartier-Bresson. Pengarang satunya lagi adalah orang barusan yang baru saja mengatakan selamat tinggal kepadaku dari seberang jalan, meninggalkan aku dengan kesan bahwa sesuatu telah terjadi dalam hidupku, dan telah terjadi untuk selamanya. 

Aku tak tahu siapa yang mengatakan bahwa para novelis membaca novel karya orang lain hanya untuk memahami bagaimana mereka menulis. Aku percaya ini benar. Kami tidak puas dengan rahasia-rahasia yang tak tersembunyi di permukaan halaman: kami membolak-balik buku untuk melihat lapisan-lapisannya. Dalam satu cara tidaklah mungkin untuk diterangkan, kami membongkar buku itu untuk mendapatkan bagian-bagian esensialnya dan kemudian mengembalikannya bersama-sama setelah kami mengerti misteri-misteri kerumitan personalnya. Usaha ini membuat kecil hati pada buku-buku Faulkner, karena ia tak tampak memiliki suatu sistem organik dalam menulis, namun berjalan membabi-buta menembus alam biblikalnya, seperti sekumpulan kambing dilepas di sebuah toko kristal. Berencana membongkar satu halaman yang seperti ini, seorang akan memiliki kesan pegas dan sekrup berhamburan, dan tidaklah mungkin untuk meletakkannya kembali dalam keadaan sesungguhnya. Hemingway, sebaliknya, kurang inspirasi, kurang nafsu, dan kurang gila namun dengan kesederhanaan yang mempesona, meninggalkan sekrup seluruhnya tampak, seolah mereka berada dalam mobil barang. Mungkin dengan alasan itu Faulkner merupakan seorang penulis yang banyak berbuat bagi jiwaku, namun Hemingway adalah orang yang telah banyak berbuat bagi keterampilanku - tidak sungguh-sungguh bagi buku-bukunya, tapi bagi pengetahuannya mengenai aspek keterampilan dalam teknik menulisnya yang mengherankan. Dalam wawancaranya yang bersejarah dengan George Plimpton di The Paris Review, (Hemingway) memperlihatkan bahwa kapan pun - berbeda dengan gagasan kreativitas Romantik - kesenangan ekonomi dan kesehatan yang baik kondusif untuk menulis; bahwa salah satu kesulitan yang utama adalah menyusun kata-kata dengan baik; bahwa ketika menulis menjadi sulit adalah baik untuk membaca kembali buku-buku sendiri, untuk mengingat bahwa hal itu memang selalu sulit; bahwa seseorang dapat menulis begitu lama ketika tak ada yang berkunjung dan tak ada telepon; dan tidaklah benar bahwa jurnalisme mematikan seorang penulis. "Suatu ketika menulis menjadi keburukan utama dan kesenangan terbesar," katanya, "hanya kematian dapat membuatnya berakhir." Akhirnya, pelajarannya adalah penemuan bahwa setiap hari kerja seharusnya hanya dipotong ketika ia tahu di mana hari esok bisa memulainya kembali. Aku tak berpikir bahwa ada nasihat lain yang lebih berguna mengenai penulisan pernah diberikan. Inilah, tak kurang dan tak lebih, obat mutlak bagi momok para penulis yang paling mengerikan: pagi yang menyengsarakan menghadapi halaman kosong. 

Seluruh karya Hemingway menunjukkan bahwa jiwanya brilian namun berumur pendek. Dan ini dapat dimengerti. Suatu tegangan internal seperti dia, tunduk pada dominasi teknik yang hebat demikian, tak dapat ditopang di dalam jangkauan-jangkauan luas dan beresiko sebuah novel. Ini sifatnya, dan kesalahannya adalah mencoba untuk melebihi batas-batas kehebatannya. Dan itulah mengapa segala sesuatu yang berlebihan lebih nyata padanya ketimbang pada para penulis lain. Novel-novelnya seperti cerita-cerita pendek yang melebihi proporsi, yang diisi terlalu banyak. Sebaliknya, segala sesuatu yang terbaik mengenai cerita-cerita (pendek)-nya adalah bahwa karya-karya itu memberi kesan sesuatu yang hilang. dan inilah justru yang menganugerahi misteri dan kecantikannya. Jorge Luis Borges, yang merupakan salah seorang penulis besar zaman kita, memiliki batas-batas yang sama, tetapi memiliki cita rasa untuk tidak mencoba melebihinya. 

Tembakan tunggal Francis Macomber pada singa menunjukkan suatu anugerah besar sebagai suatu pelajaran berburu, namun juga sebagai suatu penyajian akhir teknik menulis. Dalam salah satu ceritanya, Hemingway menulis bahwa seekor banteng dari Liria, setelah menyeruduk dengan cepat dada sang matador, kembali seperti "seekor kucing menuju sebuah sudut." Aku percaya, dengan segala kerendahhatian, bahwa pengamatan itu merupakan salah satu dari sedikit kedunguan penuh inspirasi yang hanya datang dari para penulis yang sangat berbakat. Karya Hemingway penuh dengan pengamatan sederhana dan mempesona seperti itu, yang menampakkan titik di mana ia menambahkan definisinya mengenai penulisan sastra: bahwa, seperti gunung es yang terapung, ada dasar yang sangat kuat yang menopang gunung itu yang merupakan satu per tujuh volumenya. 

Kesadaran teknik tersebut tak diragukan lagi merupakan alasan Hemignway tak akan mencapai kegemilangan dengan novel-novelnya, tetapi dengan cerita-cerita pendeknya yang lebih disiplin. Membicarakan For Whom the Bell Tolls, ia berkata bahwa ia tak memiliki pertimbangan sebelumnya untuk mengkonstruksi buku, tetapi lebih dibuat-buat setiap hari sehingga menjadi panjang. Ia tak punya apa pun untuk mengatakan itu: sudah jelas. Sebaliknya, cerita-cerita pendek instannya yang memberi inspirasi tak dapat disangkal. Seperti tiga cerita yang ia tulis pada suatu sore bulan Mei di sebuah rumah penginapan kota Madrid, ketika suatu badai salju memaksa pembatalan suatu adu banteng pada perayaan San Isidro. Cerita-cerita tersebut, sebagaimana ia sendiri berkata pada George Plimpton, adalah The Killers, Ten Indians dan Today is Friday, dan ketiga-tiganya memukau. Sepanjang baris-barisnya, bagi cita rasaku, cerita di mana kekuataannya sangat ditekan adalah salah satu ceritanya yang paling pendek, Cat in the Rain. 

Meskipun begitu, bahkan jika hal itu muncul menjadi suatu olok-olokan nasibnya, tampak bagiku bahwa karyanya yang paling mempesona dan manusiawi adalah salah satu karyanya yang paling tak sukses: Across the River and Into the Trees. Karya tersebut, sebagaimana ia nyatakan, diawali sebagai sebuah cerita pendek dan jadi tersasar ke dalam rimba mangrove sebuah novel. Sulit dimengerti begitu banyak retak-retak struktural dan begitu banyak kesalahan-kesalahan mekanik sastra dalam seorang teknisi yang bijaksana demikian - dan dialog begitu dibuat-buat, bahkan disusun, dalam karya salah seorang pandai emas yang begtiu brilian dalam sejarah sastra. Ketika buku itu diterbitkan tahun 1950, para kritkus menjadi galak namun salah jalan. Hemingway merasa terluka di mana ia begitu sakit hati, dan ia membela diri dari Havana, mengirimkan sebuah telegram penuh gairah yang tampak tak sopan bagi seorang pengarang terkenal. Tak hanya novel terbaiknya, itu juga merupakan yang paling personal, karena ditulis pada saat fajar di suatu musim gugur, dengan nostalgia pada tahun-tahun hidupnya yang tak dapat ditebus kembali dan suatu pertanda pedih tahun-tahun yang telah ia lewati. Tak ada di dalam bukunya ia meninggalkan begitu banyak dirinya, tidak juga ia menemukan - dengan segala keindahan dan kelembutan hati - suatu cara untuk memberi bentuk pada sentimen esensial karya dan kehidupannya; ketidakgunaan kemenangan. Kematian protagonisnya, seolah-olah begitu damai dan alami, merupakan sosok awal penyamaran bunuh dirinya sendiri. 

Ketika seseorang hidup begitu lama dengan karya seorang penulis, dengan intensitas dan rasa sayang yang sedemikian rupa, seseorang terjebak tanpa suatu cara memisahkan fiksi dari realitas. Aku telah menghabiskan banyak jam berhari-hari membaca di cafe tersebut di Place St. Michel yang ia anggap baik untuk menulis karena tempatnya ramah, hangat, bersih dan bersahabat, dan aku selalu berharap untuk menemukan sekali lagi gadis yang ia lihat masuk pada satu hari yang buas, dingin dan berangin, seorang gadis yang begitu cantik serta tampak segar, dengan rambut dipotong secara diagonal menyilang wajahnya seperti sayap seekor elang. "Kau bagian dariku dan Paris bagian dariku," ia menulis padanya, dengan kekuatan kepatutan yang keras hati sebagaimana dimiliki tulisannya. Aku tak dapat melalui Rue de l'Odeon No. 12 di Paris tanpa melihatnya dalam percakapan dengan Sylvia Beach, di dalam sebuah toko buku yang sekarang tak lagi sama, membunuh waktu sampai jam enam petang, ketika James Joyce mungkin akan mengantarkannya. Di padang rumput Kenya, melihatnya hanya sekali, ia menjadi pemilik banteng dan singa-singanya, dan pemilik rahasia-rahasia berburu yang paling terdalam. Ia menjadi pemilik petarung banteng dan petinju bayaran, artis-artis dan jago tembak yang hanya ada sesaat sementara mereka menjadi miliknya. Italia, Spanyol, Kuba - setengah dunia diisi dengan tempat-tempat yang ia ambil secara sederhana dengan menyebut mereka. Di Cojimar, sebuah desa kecil di dekat Havana di mana nelayan kesepian The Old Man and the Sea tinggal, ada sebuah tanda peringatan keberanian heroisnya, dengan patung dada bersepuh Hemingway. Di Finca de la Vigia, tempat pengungsiannya di Kuba, di mana ia tinggal sampai menjelang kematiannya, rumah itu tetap utuh di tengah-tengah pepohonan yang rindang, dengan koleksi bermacam-macam bukunya, tropi-tropi berburunya, meja menulisnya, sepatu orang matinya yang sangat besar, perhiasan yang tak terhitung dari seluruh dunia yang merupakan miliknya sampai ia mati, dan yang hidup tanpanya, dengan jiwa yang ia berikan pada mereka dengan magis kepemilikannya atas benda-benda itu. 

Beberapa tahun yang lalu, aku masuk ke dalam mobilnya Fidel Castro - yang merupakan pembaca sastra yang kuat - dan di tempat duduk aku melihat sebuah buku bersampul kulit merah. "Ini guruku Hemingway," Fidel Castro berkata padaku. Sungguh, Hemingway terus menjadi tempat di mana orang berharap menemukannya - 20 tahun setelah kematiannya - waktu singkat yang abadi sebagaimana pada pagi itu, barangkali bulan Mei, ketika ia berkata "Adios, amigo" dari seberang jalan Boulevard St. Michel. 

* Diterjemahkan oleh Eka Kurniawan dari versi bahasa Inggris Gabriel García Márquez Meets Ernest Hemingway.

Kamis, 25 Juni 2015

Tiga Buah Puisi dari Rafael Alberti

Merpati

(Se equivocó la paloma)

Merpati itu salah.
Merpati itu keliru.
Untuk menuju ke utara dia terbang ke selatan,
percaya jika gandum adalah air
percaya jika laut adalah langit,
Bahwa malam serupa pagi.
Bahwa bintang serupa embun,
Bahwa kehangatan adalah musim salju.
Rok yang kau kenakan adalah bajunya
Jantungmu adalah rumahnya
(dia jatuh tertidur di tepi pantai,
Kau berada di ujung jalan lain)



Jika Saya Terlahir Sebagai Buruh Tani

(Si yo nací campesino)

            Jika saya terlahir sebagai buruh tani,
Jika saya terlahir sebagai pelaut,
Mengapa saya harus di sini,
Jika tidak, di mana saya harus berada?

            Pada hari terbaik, pada kota
Ketika saya pernah dicari
Hari terbaik - diam -
Saya ingin menghilang.


Peñaranda de Duero
(Por qué me miras tan serio)

Mengapa kau terlihat begitu serius, kepadamu jalan?

Kau memiliki empat keledai abu - abu,
Seekor kuda di depan,
Sebuah kereta dengan roda hijau
Dan jalan,
Semua tersedia untuk dirimu sendiri,

Kepada jalan.

Apa lagi yang kau butuhkan?

Catatan: Peñaranda de Duero dalah sebuah desa di Provinsi Burgos, Spanyol.



 *Rafael Alberti, seorang penyair  asal Spanyol. Puisi ini sebelumnya diterjemahkan oleh A.S Kline dalam bahasa Spanyol ke bahasa Inggris. Dan selanjutnya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan ke Bahasa Indonesia. 




Jumat, 12 Juni 2015

PIPA

Ketika aku memasuki tahun ketujuh di sekolah, seorang psikolog datang dan meminta kami untuk ikut dalam tes kemampuan adaptasi. Psikolog itu menunjukkan dua puluh kartu yang berbeda, satu per satu diperlihatkan, bertanya kepadaku tentang apa yang salah dari gambar itu. Bagiku, seluruh gambar terlihat baik - baik saja, tapi psikolog itu bersikeras kembali bertanya dan memperlihatkan gambar pertama, kartu yang di dalamnya ada seorang anak. “Apa yang salah dengan gambar ini?” dia bertanya dengan suara yang lelah. Aku pun mengatakan jika gambar terlihat baik - baik saja. Psikolog marah dan berkata, “Apakah kau tidak melihat anak di dalam gambar ini tidak memiliki telinga?” Sejujurnya, ketika aku kembali melihat gambar itu, aku melihat seorang anak yang tak punya telinga. Tapi, bagiku semua masih terlihat baik - baik saja. Psikolog mengatakan jika aku dapat digolongkan sebagai “penderita gangguan persepsi yang parah," dan pada akhirnya aku dipindahkan ke sekolah untuk menjadi tukang kayu. Ketika aku berpindah di sana, ternyata aku alergi dengan serbuk gergaji, hingga akhirnya aku diarahkan ke kelas pembuatan benda logam. Aku cukup baik dalam kelas itu, meskipun aku tak cukup menikmatinya. Sejujurnya, aku tak menyukai sesuatu yang khusus seperti itu.  Ketika aku menyelesaikan sekolahku, aku mulai bekerja di pabrik pembuatan pipa. Pemimpin pabrik tempatku bekerja adalah seorang insinyur dengan gelar dari salah satu perguruan tinggi terbaik. Seorang lelaki yang luar biasa. Jika anda memperlihatkannya kartu dengan gambar anak tanpa telinga atau sejenisnya, dia akan dengan cepat menemukan dan menebaknya. 

Setelah waktu bekerja berakhir, aku memutuskan untuk tinggal dan membuat pipa dengan bentuk yang aneh, berliku, dan seperti ular yang melilit. Dan aku akan menjatuhkan kelereng di dalamnya. Aku tahu jika itu terdengar bodoh untuk dilakukan, dan aku bahkan tidak menikmatinya. Tapi, aku tetap melakukannya. 

Suatu malam, aku memutuskan untuk membuat pipa yang benar - benar rumit, dengan banyak liku - liku di dalamnya. Dan ketika aku menjatuhkan kelereng, tidak ada yang keluar di ujung lainnya, seperti biasnaya. Pada awalnya, aku mengira kelereng itu tersumbat di bagian tengah, tapi setelah aku mencoba dengan memasukkan kurang lebih dua puluh kelereng, aku pun sadar jika kelereng benar - benar menghilang. 

Aku pun tahu jika seluruh yang akan kukatakan terdengar bodoh. Maksudku semua orang tahu bahwa kelereng tidak hilang begitu saja, tetapi ketika kelereng masuk pada salah satu ujung pipa dan tidak keluar di ujung yang lain, itu terbilang sesuatu yang aneh. Sebenarnya, bagiku semua itu terlihat begitu sempurna. Pada saat itu, aku berniat untuk membuat pipa yang lebih besar, dalam bentuk yang sama, hingga aku dapat merayap masuk ke dalamnya dan menghilang. Ketika ide itu terlintas di kepalaku, aku merasa sangat senang dan tertawa terbahak - bahak. Aku merasa jika hari itu adalah hari pertama aku tertawa. 

Sejak hari itu, aku mulai mengerjakan pipa yang berukuran lebih besar, pipa raksasa. Tiap malam aku berurusan dengan pipa raksasa, dan di pagi hari bagian dari pipa raksasa itu kusembunyikan di gudang. Aku membutuhkan waktu selama dua puluh hari untuk menyelesaikan pipa raksasa itu. Pada malam terakhir, aku membutuhkan waktu selama lima jam untuk merakit dan membutuhkan setengah dari luas ruangan toko. 

Ketika aku melihatnya secara keseluruhan, aku tertegun dan tiba - tiba mengingat pesan guru pelajaran ilmu sosialku. Bahwa orang pertama di dunia membentuk kelompok bukan karena dia pintar atau pun dia yang terkuat. Hanya saja, yang lain tidak membutuhkan kelompok dan dia membutuhkan. Dia membutuhkan lebih dari siapa pun, untuk bertahan hidup dan mengatasi segala kelemahannya. Aku berpikir jika tidak ada orang di dunia ini yang memiliki keinginan menghilang melebihi keinginanku saat ini, dan itulah aku menemukan pipa raksasa ini. Aku yang bukan insinyur hebat dengan gelar sarjana mampu menjalankan sebuah pabrik. 

Aku mulai merayap ke dalam pipa, dan tidak tahu sama sekali akan ujung dari pipa ini. Mungkin akan ada anak - anak di sana tanpa telinga, duduk di tumpukan kelereng. Mungkin saja. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di pipa raksasa ini. Yang pasti aku ada di dalam pipa. 

Aku merasa telah menjadi malaikat. Aku punya sayap dan lingkaran di atas kepala dan ratusan malaikat lainnya ada di dalam sini. Ketika aku tiba di sini, mereka duduk di tumpukan kelereng yang aku masukkan ke dalam pipa beberapa minggu sebelumnya.    

Aku selalu berpikir jika surga adalah milik orang - orang yang menghabiskan hidupnya dengan sejumlah kebaikan, tapi tak sepenuhnya seperti itu. Tuhan begitu pemaaf dan penyayang untuk membuat keputusan seperti itu. Surga sebenarnya hanyalah milik orang - orang yang mampu berbahagia saat dia hidup di dunia. Di sini, mereka mengatakan kepadaku bahwa orang yang bunuh diri akan kembali hidup menjalani seluruh hidupnya, karena sebenarnya di kehidupan pertama mereka tidak menyukainya dan belum tentu di kehidupan keduanya akan berlaku hal yang sama. Tapi, orang - orang yang betul menyerah di dunia akan bertemu di sini. Mereka memiliki caranya masing - masing untuk menuju Surga. 

Di sini, ada seorang pilot yang melakukan loop pada satu titik tepat di atas segitiga bermuda. Ada ibu rumah tangga yang pergi lewat belakang lemari dapurnya untuk sampai di tempat ini, dan seorang matematikawan yang menemukan topological distortions dalam ruang lalu menyempitkannya lalu tiba ke tempat ini. 

Jadi, jika anda benar - benar tidak bahagia di sana, dan jika semua orang memberitahu anda bahwa anda menderita gangguan persepsi yang parah, temukanlah jalanmu sendiri untuk tiba di tempat ini, dan ketika kamu menemukannya, tolong bawa kartu remi karena di sini, kami cukup bosan bermain kelereng. 

*Etgar Keret adalah penulis asal Israel, penulis cerita pendek, novel grafis, dan naskah untuk film dan televisi. Cerpen ini salah satu cerita di bukunya yang berjudul "The Bus Driver Who Wanted To Be God and Other Stories." Terbit tahun 2004. 

Sebelumnya, cerpen ini diterjemahkan dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris oleh Miriam Schlesinger. Dan selanjutnya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan ke bahasa Indonesia. 

Sabtu, 09 Mei 2015

Ketika Penderitaan

Ketika penderitaan menebar warna  
di dalam kegelapan jiwa
seperti kuas yang balas dendam
aku merasakan tunas kelaparan masa lampau
menjadi pemalu dan buram

Dan mampu melawanku, serta benda - benda mati
yang sebelumnya kuciptakan
datang untuk kembali mati di dada
dalam kecerdesanku
hasrat rumahku dan buah-buahanku
mengemis kembali untuk kekayaan dari seorang pengemis

Minggu, 05 April 2015

Fire and Ice

Api dan Es

Beberapa orang mengatakan dunia akan berakhir dalam api
Sebagian lagi menyatakan dalam es.
Dari apa yang ada dalam hasratku
Aku berada pada orang yang mendukung api
tetapi jika dunia ini harus binasa dua kali
Aku merasa jika semua ini cukup untuk membenci
Demi mengatakan jika kehancuran karena es
Juga besar
dan akan cukup.


Fire and Ice

Some say the world will end in fire,
Some say in ice.
From what I've tasted of desire
I hold with those who favor fire.
But if it had to perish twice,
I think I know enough of hate
To say that for destruction ice
Is also great
And would suffice.

Rabu, 25 Maret 2015

Tiga Puisi dari Allen Ginsberg

Menahan diri

Udara menjelma gelap, malam sedang bersedih
Aku berpura - pura tertidur dan aku merintih
Tak seorang pun peduli ketika seorang lelaki menjadi gila:
Dia menyesal, Tuhan begitu bahagia
Bayangan berubah menjadi tulang

Tiap bayangan memiliki nama;
Ketika aku berpikir tentang bayanganku, aku mengeluh
Aku mendengar rumor itu amat terkenal
Bukan untuk sombong, tapi hanya merasa malu
Bayangan berubah menjadi tulang

Ketika aku tersipu malu aku menangis penuh sukacita
Dan tawa berjatuhan dari dalam diriku seperti batu:
Tawa yang berusia tua dari anak lelaki
Untuk melihat yang masih muda mati penuh malu
Bayangan berubah menjadi tulang

Paterson, Agustus 1948





Metafisika

Ini hanyalah satu dan hanya 
cakrawala;hingga
semua itu menjadi dunia yang pasti.
Tak ada dunia lain.
Lingkaran telah selesai.
Aku hidup dalam keabadian.
Sejumlah arah dalam dunia 
adalah arah dari surga. 

New York, Pertengahan 1949 



Aku bercinta dengan diriku sendiri

Aku bercinta dengan diriku sendiri

Di hadapan cermin, mencium bibirku sendiri,
     sambil kukatakan, "Aku mencintai diriku,
Aku mencintaimu lebih dari siapa pun. "


New York, 30 Desember 1951


*Tiga puisi ini terjemahan dari karya salah seorang penyair Amerika, Allen Ginsberg. 

Minggu, 22 Maret 2015

Argumentum Ornithologicum

Saya memejamkan kedua mata saya dan melihat sekawanan burung. Bayangan itu berlangsung satu detik, atau saya berharap lebih; saya tidak yakin ada berapa banyak burung yang dapat saya lihat. Apakah jumlah burung itu pasti atau tak terbatas? Masalah yang muncul dalam eksistensi Tuhan. Jika Tuhan ada, jumlahnya tentu akan pasti, karena Tuhan tahu ada berapa banyak burung yang saya lihat. Jika Tuhan tidak ada, jumlah burung tidak terbatas, karena tidak satu pun yang dapat menghitung. Dalam kasus ini saya melihat lebih sedikit dari sepuluh burung (saya hendak menerka) dan lebih dari satu, tapi saya tidak melihat sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga atau dua ekor burung. Saya melihat jumlahnya antara sepuluh dan satu, yang bukan sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, dll. Itu integer, bukan sembilan, bukan delapan, bukan lima dan lain - lain, tak terbayangkan. Sebagai kesimpulan, Tuhan ada. 

*Karya Jorge Luis Borges saya terjemahkan dari salah satu karya dalam bukunya The Maker (1960).